Edo dari Jakarta, A Chen dari Taipei, keduanya sahabat karib. Pada bulan Mei 2009, Edo dan A Chen mengajak saya dan istri berkunjung ke Taiwan dan Tiongkok untuk mengunjungi beberapa klenteng di Tiongkok dan di Taiwan.
Sebelum kami menerima ajakan Edo dan A Chen, saya bertanya pada guru roh saya, apakah saya baik untuk menerima ajakan ke Tiongkok dan Taiwan ini? Guru roh saya mengatakan bahwa saya dan istri perlu berkunjung ke Pu To San dan Wu Dang San. Kehadiran saya sudah ada yang menunggu di sana.
Pu To San adalah pulau di pantai timur Tiongkok, tempat legenda Dewi Kwan Im. Guru sejati istri saya dan salah satu guru roh saya. Wu Dang San (Bun Tong San) terletak di Tiongkok tengah di propinsi Hu Pei. Tempat legenda Dewa Hian Thian Siang Tee, salah satu gum roh saya dan istri. Pagi hari berangkat dari Jakarta, melalui Singapore, sore hari sampai di Shang Hai.
a. Ibadah di Pu To San
Besok paginya langsung menuju ke Pu To San. Siang menjelang sore kami sudah mengunjungi beberapa tempat sembahyang.
Klenteng yang berada di dekat pantai altarnya kosong, kami hanya melihat-lihat saja. Tempat sembahyang yang lain, berupa patung Dewi Kwan Im yang berdin menjulang tinggi di sebuah bukit menghadap laut juga kosong. Jadi kami hanya melihat-lihat saja sebagai turis. Di daerah ini ada beberapa klenteng atau bio, altarnya juga kosong.
Besok harinya, melalui peta 3 dimensi Pu To San, saya memohon petunjuk guru roh saya tempat- tempat ibadah yang mana saja yang baik untuk kami kunjungi. Ada 3 klenteng yang letaknya saling berjauhan yang di altamya 'duduk' utusan Dewi Kwan Im.
Bentuk pulau Pu To San di dalam peta 3 dimensi agak mirip buah labu Ho Lo yang biasanya untuk tempat arak di cerita silat. Karena saya dan istri tidak mengerti tulisan mandarin, dan di tempat-tempat itu semuanya tidak ada tulisan latin, semuanya memakai tulisan mandarin, maka kami berdua agak susah mengingat dan menyebut nama tempat-tempat tersebut.
Ada tiga klenteng atau bio yang letaknya dapat saya gambarkan sebagai berikut. Kalau pulau Pu To San agak mirip labu Ho Lo, atau agak mirip juga seperti angka 8 dengan pinggang yang gendut, maka ke-3 klenteng ini, yang pertama terletak hampir di tengah bagian bawah, yang kedua terletak hampir di tengah bagian atas dan yang ketiga terletak di ujung atas pulau, kalau dilihat di peta pulau Pu To San. Dan ketiga klenteng atau bio ini memakai nama akhir 'Sie' seperti kuil Sio Lim 'Sie' Hanya ke-3 klenteng ini yang ada dewanya.
Rombongan saya ber-4 ditambah satu pemandu lokal hanya sembahyang di klenteng yang pertama, klenteng terbesar dan terbanyak pengunjungnya. Di klenteng ini saya melihat altar utama dengan patung Dewi Kwan Im setinggi sekitar 3 meter. Utusan Dewi Kwan Im tidak ada di altar ini. Lalu saya pergi ke paviliun sebelah kanan dengan altar yang lebih kecil. Saya melihat utusan Dewi Kwan Im 'duduk' di altar ini Saya beritahu yang lain bahwa Dewi Kwan Im ada di situ. bukan di altar utama di dalam gedung utama. Setelah Edo dan A Chen membaca papan nama di depan altar, mereka bilang di situ namanya bukan Dewi Kwan Im, tapi nama dewi yang lain.
Saya perhatikan lagi dan saya tanyakan, apakah yang duduk di altar ini adalah utusan Dewi Kwan Im yang memegang kuasa di klenteng ini? jawabnya 'ya'. Tulisan yang dipasang memang nama dewi lain, tapi yang duduk adalah utusan Dewi kwan Im. MaKa semua persembahan diletakkan di altar ini dan semua sembahyang di altar ini, baru kemudian menuju gedung utama hanya untuk melihat-lihat saja di dalam gedung ini dengan altarnya yang megah.
Di komplek ini banyak gedung dengan banyak altar para dewa, tapi semuanya kosong. Padahal gedung-gedung klenteng ini dan altarnya sudah berusia tua, ratusan tahun, bahkan ada yang sudah ribuan tahun. Sebab ada beberapa pohon yang ada tulisan usianya sudah ribuan tahun.
Di pulau Pu To San ini ada banyak klenteng. Tidak semua kami kunjungi, karena semuanya harus ditempuh dengan jalan kaki melalui ribuan anak tangga naik dan turun terjal sekali. Hari itu jarak yang kami tempuh kira-kira 10 km jalan kaki.
Hari berikutnya kami meninggalkan pulau Pu To San menuju kota Wu Han, bermalam di Wu Han. Besok pagi-pagi menuju Wu Dang city dan sampai di Wu Dang San hari sudah mulai gelap.
b, Ibadah di Wu Dang San
Pagi harinya kami menuju stasiun kereta gantung untuk mendaki gunung Wu Dang. Walaupun sudah dibantu kereta kabel, jalan kaki melalui ribuan tangga yang mendaki terjal masih panjang. Panorama indah sepanjang jalan membuat perjalanan menjadi tidak terasa berat
Jumlah turis yang mendaki Gunung Wu Dang cukup banyak. Yang saya lihat mereka umumnya hanya menikmati pemandangan alam dan melihat tempat peninggalan sejarah agama Tao-is, lengkap dengan legenda petilasan tempat tinggal Dewa Hian Thian Siang Tee. Yang ibadah sembahyang hanya sedikit saja.
Tengah hari kami sampai di puncak Golden Peak Wu Dang San.
Pemandangan alamnya sungguh menakjubkan. Di bawah awan, di atas ada awan, di tengah ada puncak gunung dengan klenteng atau bio mungil warna merah. Indah dan sangat kontras dengan warna alam sekitarnya. Ke bawah terlihat ribuan tangga berliku-liku menuju puncak.
Puncak gunung ini hanya seluas kira-kira 15x30 meter saja. Di tengah naik 2 meter, terletak bangunan utama klenteng dengan altar Dewa Hian Thian Siang Tee. Di sini saya tidak melihat utusan Dewa Siang Tee, altarnya kosong. Saya menuju bagian belakang bangunan. Turun 2 meter dari bangunan utama tadi, ada bangunan yang lebih kecil sekitar 3x3 meter dengan altar kecil di dalamnya. Di altar ini saya temukan utusan Dewa Siang Tee sebagai dewa penguasa Gunung Wu Dang. Ternyata dewa inilah yang sudah menunggu kehadiran saya dalam perjalanan ke Tiongkok. Saya memang punya hubungan dekat dengan dewa ini, sama-sama duduk di altar di kota Wu Han jaman dulu. Saya minta dewa ini untuk dapat memberikan berkah dan bekal kepada istri dan teman-teman saya yang telah membawa saya ke Wu Dang San. Berkah dan bekal sesuai kebutuhan mereka dan juga sesuai dan sebatas wewenang yang dimilikinya.
perjalanan turun tidak melalui jalan yang sama seperti waktu naik. Kami hanya mengunjungi dan melihat bangunan sejarah dan tempat ibadah jaman dahulu yang banyak tersebar di kaki gunung. Tapi sebagian besar tempat-tempat tersebut bukan lagi untuk tempat ibadah sembahyang, hanya untuk tujuan wisata saja. Jadi selama perjalanan mendaki Gunung Wu Dang ini, saya hanya bertemu dengan satu dewa yang duduk di altar klenteng di puncak Gunung Wu Dang tadi. Yang lain altarnya kosong. Saya juga tidak menemukan altar yang tercemar, baik di Pu To San maupun di Wu Dang San.
c. Petilasan Sam Kok
Turun dari Wu Dang San, menginap di Wu Dang city, besoknya perjalanan dilanjutkan untuk melihat petilasan Sam Kok. Terutama di Gulong Zhong tempat kampung halaman Zhu Geliang, tokoh penasehat dan siasat perang dalam kelompok Lau Pei. Kwan Kong dan Tio Hwi.
Di daerah ini banyak klenteng tempat sembahyang, tapi umat yang sembahyang sedikit sekali. Sebagian besar hanya kunjungan wisata, bukan untuk ibadah. Semua altar sembahyang yang kami kunjungi kosong, tidak ada dewa yang duduk di altar.
Begitu juga di tempat-tempat lainnya, padahal banyak klenteng atau bio ini sudah berusia tua, sudah ratusan tahun.
Saya merasa aneh dan heran, bagaimana semua ini bisa terjadi? Sepanjang perjalanan Perjalanan pikiran saya merenungkan kejadian ini. Saya minta petunjuk guru roh saya,
inilah penjelasannya: "Para dewa dan roh suci turun ke bumi untuk menolong manusia. Kalau manusia nya tidak mau ditolong, bahkan malah 'menghancurkan' sarana-sarana yang ada yang dibutuhkan para dewa menjalankan tugas, maka para dewa dan roh suci akan pergi dan pulang kembali ke 'langit" Dan penjelasan guru roh saya ini, saya jadi diingatkan peristiwa 'revolusi kebudayaan yang pernah terjadi di negeri Tiongkok dibawah pimpinan Mao Tse Tung. Revolusi kebudayaan yang ber-langsung dan dampaknya sampai puluhan tahun, telah 'membantai' dan menghancurkan kebudayaan spiritual di negara ini. Banyak klenteng atau bio ditutup dan altamya dihancurkan, masyarakat dilarang sembahyang di bio. Yang berani melanggar ditangkap dan diadili di 'pengadilan rakyat\ Kesemuanya ini membuat para dewa dan roh suci meninggalkan altar - altar sembahyang dan kembali ke langit. Maka dampaknya sampai sekarang masih banyak altar-altar klenteng yang kosong.
Diperlukan orang-orang yang mengerti dan mampu untuk mengundang kembali para dewa dan roh suci kembali 'duduk' di altar dan memberikan pertolongan kepada umat manusia. Sayangnya banyak generasi tua yang mengerti dan mampu, sudah banyak yang meninggal. Generasi mudanya hanya tahu, tapi tidak mengerti dan tidak mampu. Kalau ada yang mampu jumlahnya hanya sedikit dan yang lebih memprihatinkan, sedikit yang mampu ini tidak dipercaya oleh *orang-orang tua yang sekarang menjadi penunggu atau pengelola klenteng atau bio.
No comments:
Post a Comment