Add caption |
Para guru roh saya menjelaskan, hukum keseimbangan di satu sisi menurunkan hukum sebab akibat, yang menghasilkan hukum karma, dan hukum karma membuahkan reinkarnasi. Ini yang disebut siklus kehidupan. Dan ini sudah banyak diketahui dan dibahas.
Di sisi yang lain, hukum keseimbangan juga turun sebagai hukum memberi dan menerima.
Hukum ini terdiri 3 bagian:
1. Yang tidak memberi, tidak menerima.
2. Yang mau menerima, perlu mau memberi.
3. Yang diberikan, menentukan yang akan diterima.
Ketiganya ini disebut kepedulian hidup atau tata kehidupan manusia.
Guru roh saya menjelaskan bahwa banyak orang yang belum mengerti dan memahami hukum memberi dan menerima ini. Sehingga mereka banyak yang melepas kepedulian hidup, menjadi egois atau mementingkan diri sendiri. Hal ini mendatangkan masalah dalam perjalanan hidupnya.
1. Yang tidak memberi tidak dapat menerima,
ini artinya orang yang tidak pernah memberi, memberi kebajikan, memberi amal, memberi pertolongan dan memberi kepedulian kepada orang lain, maka pada dirinya tidak tumbuh wadah untuk menerima. Jadi walaupun Allah sudah menurunkan pertolongan, pertolongan itu akan merosot jatuh ke bawah tanpa ada yang dapat menerima, sebab wadah untuk menerima tidak ada.Hal seperti ini banyak saya temukan dalam kasus menolong menyembuhkan orang atau menolong melepaskan penderitaan orang. Si A mudah ditolong, tetapi si B susah ditolong, padahal kasusnya hampir sama.
2. Yang mau menerima, perlu mau memberi,
Sebagian besar manusia hanya mau menerima dan menerima saja. Menerima yang enak, yang baik dan yang menyenangkan untuk dirinya. Tapi melupakan untuk memberikan kepada orang lain hal yang sama. Juga banyak orang berdoa dan sembahyang kepada para dewa dan roh suci, memohon apa saja yang diinginkan. Memohon dan memohon terus,dan lupa untuk memberi.
Para dewa dan roh suci dalam menjalankan tugas untuk menolong manusia tidak berani keluar dari hukum alam, hukum keseimbangan.Oleh karena itu kalau mau berdoa dan sembahayang di Vihara atau klenteng bawalah persembahan untuk para dewa dan roh suci yang duduk di altar, agar terjadi keseimbangan. Yang mau menerima perlu memberi. Tidak cukup hanya menyalakan lilin dan pasang Hio saja. Mengenai sembahyang di klenteng atau vihara telah saya tulis dalam buku pertama sampul warna hijau dengan judul "Ibadah dari Vihara ke Vihara."
Ada 3 kasus yang akan saya ceritakan disini :
a.Mau menerima kesembuhan, tidak mau memberi kepedulian.
Elly seorang dokter, ibu rumah tangga dan umat Katholik yang taat. Dia menderita penyakit kanker sudah menahun. Berbagai cara pengobatan medis sudah dilakukan, tetapi tidak berhasil. Akhirnya dia memutuskan untuk ziarah ke Lourdes memohon penyembuhan spiritual kepada Bunda Maria disana. Ajaib, penyakit kankernya berangsur-angsur sembuh.
Setelah sembuh total secara medis, dia dan suaminya mau berlibur ke luar negeri, bukan ke Lourdes. Salah satu teman dekatnya mengingatkan, mengapa tidak berlibur ke Lourdes saja sekalian mengucapkan terima kasih dan membawa persembahan untuk Bunda Maria disana. Dia mengatakan bahwa untuk berterima kasih dapat dari mana saja, tidak perlu datang lagi ke Lourdes.
Istri saya waktu tahu kejadian ini memberi tahu teman dekat Elly, bahwa Elly ini belum tahu dan mengerti tentang “yang mau menerima perlu mau memberi”. Dia mau ke Lourdes untuk menerima penyembuhan, setelah sembuh dia tidak mau ke Lourdes untuk memberikan persembahan dan terima kasih kepada Bunda Maria. Dia keluar dari hukum alam, hukum keseimbangan.
Elly cukup lama diberi kesempatan untuk sadar bahwa dia perlu untuk datang kembali ke Lourdes. Tapi rupanya setelah sembuh dia lupa diri, mengira masalah penyakitnya sudah lewat, sudah tidak ada. Sayang sekali, penyakit kankernya muncul kembali dan tidak dapat ditolong lagi.
b. Mau menerima kesembuhan, tidak lupa memberi kepedulian.
Dona seorang ibu rumah tangga berumur 30-an, menderita penyakit kanker sudah lebih dari 5 tahun. Menurut dokter, penyakit kankernya sudah stadium 4 lanjut. Sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Setelah melihat data dirinya, dengan mata batin saya memeriksa penyakit Dona. Penyakit kanker dona disebabkan unsur non medis yang sudah menjadi medis, berasal dari gaib penunggu rumahnya yang jahat.
Setelah makhluk gaib penunggu rumahnya saya singkirkan dan gangguan gaib yang ada di dalam badan Dona saya bersihkan, Dona saya beri resep obat yang perlu diminum untuk minimal selama satu tahun. Obat tersebut harus dibeli dan dibuat sendiri setiap hari.
Dalam waktu 5 bulan minum obat yang saya berikan dan paralel dengan pengobatan dokter, Dona dinyatakan sembuh total. Sampai hari ini, setelah 3 tahun lebih penyakit kankernya tidak muncul kembali.
Salah satu faktor yang menyebabkan Dona dapat sembuh total begitu cepat adalah Dona dan suaminya selalu menjaga untuk tidak keluar dari hukum alam, hukum keseimbangan yang turun sebagai hukum memberi dan menerima.
Dona dan suaminya mempunyai pandangan hidup yang luar biasa, saya belum pernah bertemu dengan orang yang mempunyai pandangan seperti mereka.
Selama lebih dari 5 tahun, Dona mengeluarkan biaya pengobatan penyakit kankernya sekitar 5 juta rupiah per bulan, penyakitnya tetap ada dan tidak sembuh. 5 juta per bulan untuk pengobatan yang tidak dapat menyembuhkan penyakitnya.
Setelah penyakitnya sembuh, dia mempunyai pikiran yang sangat positif, dia mempunyai kepedulian hidup yang baik. Kalau dulu dia harus keluar biaya pengobatan 5 juta rupiah tiap bulan, tanpa kesembuhan, apa salahnya setelah sembuh dia mengeluarkan uang 1 juta rupiah tiap bulan untuk diamalkan.
Itulah yang dilakukan oleh Dona dan suaminya. Secara ekonomi Dona dan suaminya bukan orang kaya, tetapi kepedulian hidupnya mengalahkan orang kaya.
c. Yang diberikan, menentukan yang akan diterima.
Yang diberikan, menentukan yang akan diterima. Saya hanya memberikan sebuah kasus yang benar-benar terjadi, kejadiannya sudah cukup lama. Orang tua istri saya membuka toko roti/bakery. Setiap tahun pada hari ulang tahun Kelenteng, maka banyak orang pesan kue tart untuk dipersembahkan kepada dewa yang duduk di altar Kelenteng tersebut.
Selesai upacara sembahyang hari ulang tahun, kue-kue tart tersebut dilelang untuk umum dan uangnya untuk mengisi kas Kelenteng.
Pada waktu itu saya dan istri berada di kota kelahiran kami. Istri saya melayani satu keluarga, suami istri dan anak-anaknya yang memesan dua buah kue tart, satu untuk dipersembahkan ke Kelenteng dan satu untuk dimakan sendiri sekeluarga.
Istri saya menanyakan mau pesan yang isi bolu atau cake atau spiku/lapis surabaya. Keluarga ini pesan satu isi spiku yang mahal untuk dimakan sendiri, dan satu isi bolu yang murah untuk dipersembahkan ke dewa di altar Kelenteng. Toh nanti dilelang dan dimakan orang lain. Begitu kata keluarga ini.
Istri saya dalam hati prihatin sekali terhadap pemahaman keluarga ini. Dia memberikan persembahan yang murahan saja kepada roh suci yang duduk di altar, karena toh yang makan orang lain, bukan dewanya. Dan memberikan sumbangan kue tart hanya supaya terlihat ikut partisipasi menyumbang atau beramal ke Kelenteng. Dia kurang mengerti dan memahami bahwa persembahan yang murahan, berkah yang akan diterima juga yang murahan.
Yang diberikan menentukan yang akan diterima, dalam arti kebenaran spiritual.
No comments:
Post a Comment