Tuesday, April 5, 2016

KITAB SUCI BUKAN ALLAH

KITAB SUCI BUKAN ALLAH
GAMBAR ILUSTRASI

Rita berusia sekitar 50 tahun, dosen yang memberi kuliah di perguruan tinggi di Jakarta, juga di perguruan tinggi di Jawa Timur. Kedatangannya untuk konsultasi mengenai perjalanan hidupnya dan rumah tangganya. Dia sudah cerai dengan suaminya dan sekarang mendambakan searang pria sebagai sandaran hidup di hari tuanya. Setelah memeriksa data pribadinya, saya tahu bahwa Rita tidak punya jatah jodoh, kehidupan suami istrinya pasti tidak harmonis dan berakhir dengan perceraian. Oleh karena itu saya katakan kalau mau mencari pria sebagai sandaran hidup di hari tua, jangan ada ikatan pernikahan secara kebudayaan, kepercayaan dan upacara-upacara lainnya. Cukup dengan catatan sipil saja, kalau perlu dan mau boleh melakukan per- nikahan tamasya saja, jangan ada pesta pernikahan.

Rita keberatan dengan usul saya, acara adat dan kebudayaan tidak mungkin dia tinggalkan. Rita bukan umat Kristen maupun Katholik, jadi waktu saya beritahu dia tidak ada jatah jodoh dan saya minta dia membaca kitab Injil untuk penjelasannya, dia memberitahu agama yang dianut dan mengatakan bahwa dia bisa berdosa kalau membaca kitab Injil.

Saya katakan pada Rita bahwa kitab suci adalah sebuah buku, bukan Allah. Sebuah buku yang berisi ajaran-ajaran Allah, bukan Allah-nya sendiri. "Anda seorang dosen, saya juga dosen. Di dalam menyiapkan bahan mata kuliah anda, pasti memakai beberapa buku acuan atau buku referensi. Kitab suci juga seperti buku-buku referensi itu, hanya konteks isinya saja yang lain. Anda tahu berapa banyak kitab suci dari berbagai agama yang setiap tahun dibuang di tong sampah? Ribuan kitab suci dibuang di tong sampah setiap tahun", saya menjelaskan pada rita.

Rita protes, "Bagaimana mungkin kitab suci dibuang di tong sampah? "Ya, setiap tahun ribuan kitab suci dari berbagai agama rusak akibat kebanjiran dan kebakaran. Semua kitab suci yang sudah rusak itu dibuang di tong sampah. Yang dibuang hanya buku, bukan ajarannya." Rupanya Rita cepat mengerti dan dia dapat menerima penjelasan saya.

Rita seorang dosen senior, seorang cendikiawan, karena kepatuhannya dan kepercayaannya yang kuat terhadap agamanya membuat pola pikirnya terhadap spiritual menjadi sempit. Menganggap kitab suci bagaikan Allahnya sendiri, dan dipuja.

Saya sering menemukan kasus seperti yang dijalani Rita ini. Saya beberapa kali melihat di altar sembahyangan umat Budhis atau Tao, juga umat Katholik yang mengaltarkan juga kitab suci, buku mantra dan kitab lain-lain yang dianggap suci atau disucikan oleh mereka. Malahan ada buku mantra yang mengharuskan pembacanya sebelum mulai harus membersihkan diri dulu, memakai pakaian yang bersih dan rapi. Semua yang mereka lakukan itu baik dan boleh-boleh saja, akan tetapi mereka kurang mengerti bahwa ibadah dan sembahyang yang baik itu bukan hanya terletak pada kebersihan badan dan pakaian, juga bukan dengan memperlakukan atau menyamakan kitab suci sebagai dewa atau roh suci itu sendiri. Ibadah dan sembahyang itu banyak ditentukan kebersihan hati nurani dan prilaku seseorang. badan yang bersih dan pakaian yang rapi mempunyai nilai Plus, tapi jangan terlalu fokus disitu.

Bagaimana dengan upacara sumpah presiden atau sumpah pejabat yang saat mengucapkan sumpah sebuah kitab suci diletakkan di atas kepalanya? Itu hanya simbolis saja bahwa orang yang disumpah itu mengucapkan kata-katanya di bawah ajaran-ajaran Allah atau demi Allah. Ini simbolis yang mempunyai efek psikologis atau kejiwaan, Allah mendengarkan sumpahnya. Apakah benar Allah mendengarkan sumpahnya? Apakah sumpah seperti ini mempunyai kekuatan spiritual? Belum tentu, tergantung siapa yang melakukan penyumpahan.

0 komentar

Post a Comment